Malam itu di sebuah warung kopi sederhana di dekat Ruteng, Flores, udara terasa dingin. Hanya ada suara jangkrik dan obrolan pelan dari beberapa bapak supir truk di sudut ruangan. Di tengah keheningan itu, sambil menyeruput kopi hitam pekat yang disajikan di gelas kaleng, saya mulai merenungkan kembali makna perjalanan nusantara yang sesungguhnya.
Ini bukan tentang menaklukkan puncak atau menemukan pantai rahasia. Bukan. Ternyata, ada sebuah pola. Pola aneh yang sama, yang entah kenapa selalu saya temukan di setiap perjalanan saya, di setiap warung kopi yang saya singgahi.
Kilas Balik di Kehangatan Angkringan Yogya

Ingatan saya kemudian melompat ke suasana yang sama sekali berbeda: riuhnya sebuah angkringan di jantung Yogyakarta. Di atas tikar yang sama, duduk seorang mahasiswa yang sibuk dengan laptopnya, di sebelahnya ada seniman lokal, dan tak jauh dari sana, seorang bapak tukang becak sedang tertawa.
Mereka tidak saling kenal. Namun, mereka berbagi ruang yang sama, berbagi kehangatan wedang jahe yang sama, dan berbagi tawa yang sama. Selain itu, selalu ada sedikit ruang kosong di tikar itu, seolah menyisakan tempat bagi siapa pun yang baru datang.
Suara Debur Ombak di Pelabuhan Bajo
Dari Yogya, pikiran saya terbang ke sebuah warung papan kayu di dekat pelabuhan Labuan Bajo. Pagi itu, aroma kopi bercampur dengan bau asin lautan. Saya mendengarkan percakapan para kapten kapal yang bersiap melaut, bertukar cerita tentang cuaca dan ikan.
Pemilik warungnya, seorang ibu paruh baya, menyapa setiap orang dengan nama. Dia tidak pernah bertanya saya mau ke mana. Dia hanya menyodorkan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng. Meskipun begitu, di bangku panjang tempat saya duduk, selalu ada ruang di sebelah saya. Tidak ada yang mengisinya, seolah sengaja disiapkan.
Riuhnya Kedai Kopi di Jantung Medan

Jauh dari timur Indonesia, di ujung barat, ternyata polanya tetap sama. Kali ini di sebuah kedai kopi tua di salah satu sudut Kota Medan. Suasananya riuh, penuh asap rokok, dan suara tawa yang lebih keras. Di sini, obrolannya bukan soal cuaca di laut, tapi soal bisnis dan politik ringan.
Saya masuk dan sempat bingung karena semua kursi terlihat penuh. Namun, seorang bapak yang sedang asyik bermain catur menoleh, menggeser sedikit kursinya, dan menepuk ruang kosong di sebelahnya. Sebuah isyarat tanpa kata yang artinya, “Sini, gabung.”
Momen Pencerahan: Sebuah Kursi Kosong

Dari dinginnya Flores, riuhnya Yogya, debur ombak Bajo, hingga bisingnya kedai di Medan, saya akhirnya menemukan benang merahnya. Bukan jenis kopinya. Bukan pula gorengan atau mi instan yang selalu ada. Benang merah itu adalah sebuah kursi kosong.
Ya, sebuah kursi plastik, bangku kayu, atau ruang kosong di atas tikar yang seolah sengaja dibiarkan. Sebuah undangan tak terucap yang berbunyi, “Masih ada tempat, sini gabung.” Kursi itu adalah simbol. Sebuah simbol penerimaan.
Makna Sebenarnya dari Sebuah Perjalanan Nusantara
Ternyata, perjalanan paling berharga bukanlah tentang destinasi yang kita tuju, tapi tentang koneksi yang kita temukan. Kursi kosong di warung kopi pelosok Indonesia itu mengajarkan saya sebuah pelajaran penting. Ini adalah pelajaran tentang ruang. Ruang untuk orang asing, ruang untuk cerita baru, dan ruang untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, walau hanya untuk sesaat.
Oleh karena itu, inilah jiwa sejati dari perjalanan di Nusantara. Bukan pemandangannya yang indah, tapi manusianya yang selalu menyediakan “ruang”.
Jadi, lain kali kamu melakukan perjalanan, coba perhatikan. Mungkin kamu juga akan menemukan “kursi kosong”-mu sendiri.
Punya pengalaman tak terduga di warung kopi atau tempat lain saat traveling? Cerita dong di kolom komentar!
Baca juga: artikel Wisata Nusantara Lainnya.